Rabu, 08 Januari 2014

Identitas Nasional



A.      Pengertian Identitas Nasional
Pengertian identitas nasional pada hakikatnya adalah “manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya” (Wibisono Koento: 2005).
Identitas berasal dari kata identity yang berarti ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam arti terminologi antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan, kelompok, komunitas, atau negaranya sendiri.
Kata nasional dalam identitas nasional merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non-fisik seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan. Istilah identitas nasional atau identitas bangsa melahirkan tindakan kelompok (collective action) yang diberi atribut nasional.
Nilai-nilai budaya yang berada dalam sebagian besar masyarakat dalam suatu negara dan tercermin di dalam identitas nasional bukanlah barang yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka yang cenderung terus-menerus berkembangkarena hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Implikasinya adalah bahwa identitas nasional merupakan sesuatu yang terbuka untuk diberi makna baru agar reelevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.
B.       Parameter Identitas Nasional
Parameter identitas nasional adalah suatu ukuran atau patokan yang dapat digunakan untuk menyatakan sesuatu yang menjadi ciri khas suatu bangsa. Sesuatu yang diukur adalah unsur suatu identitas seperti kebudayaan yang menyangkut norma, adat dan teknologi, sesuatu yang alami atau ciri yang sudah terbentuk seperti geografis.
Identitas nasional mempunyai indikator sebagai berikut:[1]
1.        Identitas nasional menggambarkan pola prilaku tang terwujud melalui aktivitas masyarakat sehari-harinya. Identitas ini menyangkut adat-istiadat, tata kelakuan, dan kebiasaan. Ramah tamah, hormat kepada orang tua, dan gotong royong merupakan salah satu identitas nasional yang bersumber dari adat-istiadat dan tata kelakuan.
2.        Lambang-lambang yang merupakan ciri dari bangsa dan secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi bangsa. Lambang-lambang negara ini biasanya dinyatakan dalam undang-undang seperti Garuda Pancasila, bendera, bahasa, dan lagu kebangsaan.
3.        Alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan seperti bangunan, teknologi, dan peralatan manusia. Identitas yang berasal dari alat perlengkapan ini seperti bangunan yang merupakan tempat ibadah (borobudur, prambanan, masjid dan gereja), peralatan manusia (pakaian adat, teknologi bercocok tanam), dan teknologi (pesawat terbang, kapal laut, dan lain-lain).
4.        Tujuan yang ingin dicapai suatu bangsa. Identitas yang bersumber dari tujuan ini bersifat dinamis dan tidak tetap seperti budaya unggul, prestasi dalam bidang tertentu, seperti di Indonesia dikenal dengan bulu tangkis.
Bagi bangsa Indonesia, pengertian parameter identitas nasional tidak merujuk hanya pada individu (adat istiadat dan tata laku), tetapi berlaku pula pada suatu kelompok Indonesia sebagai suatu bangsa yang majemuk, maka kemajemukkan itu merupakan unsur-unsur atau parameter pembentuk identitas yang melekat dan diikat oleh kesamaan-kesamaan yang terdapat pada segenap warganya. Unsur-unsur pembentuk identitas nasional Indonesia berdasarkan ukuran parameter sosiologis adalah: suku bangsa, kebudayaan, dan bahasa maupun fisik seperti kondisi geografis.[2]
1.        Suku bangsa adalah golongan sosial yang khusus dan bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Indonesia dikenal bangsa dengan banyak suku bangsa, dan menurut statistik kurang lebih berkisar pada 300 bangsa. Setiap suku mempunyai adat istiadat, tata kelakuan, dan norma yang berbeda, namun demikian beragam suku ini mampu mengintegrasikan dalam suatu negara Indonesia untuk mencapai tujuan yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
2.        Kebudayaan menurut ilmu sosiologis termasuk kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, dan adat istiadat. Kebudayaan sebagai parameter identitas nasional bukanlah sesuatu yang bersifat individual. Apa yang dilakukan sebagai kebiasaan pribadi bukanlah suatu keudayaan. Kebudayaan harus merupakan milik bersama dalam suatu kelompok, artinya para warganya memiliki bersamasejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang didapat dan dikembangkan melalui proses belajar. Hal-hal yang dimiliki bersama ini harus menjadi sesuatu yang khas dan unik, yang akan tetap memperlihatkan diri diantara berbagai kebiasaan-kebiasaan pribadi yang sangat variatif.
3.        Bahasa adalah identitas nasional yang bersumber dari salah satu lambang suatu negara. Bahasa merupakan satu keistimewaan manusia, khususnya dalam kaitan dengan hidup bersama masyarakat adalah adanya bahasa. Di Indonesia terdapat berbagai beragam bahasa daerah yang mewakili banyaknya suku-suku bangsa atau etnis, namun bahasa Melayu dulu dikenal sebagai bahasa penghubung berbagai etnis yang mendiami kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa komunikasi diantara suku-suku dinusantara, bahasa melayu juga menempati posisi bahasa transaksi perdagangan internasional dikawasan kepulauan nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia dengan pedagang asing. Pada tahun 1928 Bahasa Melayu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun tersebut, bahasa Melayu ditetapkan menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional.
4.        Kondisi geografis merupakan identitas yang bersifat alamiah. Kedudukan geografis wilayah negara menunjukkan tentang lokasi negara dalam kerangka ruang, tempat, dan waktu, sehingga untuk waktu tertentu menjadi jelas batas-batas wilayahnya diatas bumi. Letak geografis tersebut menentukan corak dan tata susunan kedalam  dan akan dapat diketahui pula situasi dan kondisi lingkungannya. Bangsa akan mendapat pengaruh dari kedudukan geografis wilayah negaranya. Letak geografis ini menjadi khas dimiliki oleh sebuah negara yang dapat membedakannya dengan negara lain.
C.      Unsur-unsur Pembentuk Identitas Nasional
Identitas nasional Indonesia pada saat ini terbentuk dari enam unsur yaitu sejarah perkembangan bangsa Indonesia, kebudayaan bangsa Indonesia, suku bangsa, agama, dan budaya unggul. Namun demikian, unsur-unsur ini tidak statis dan akan berkembang sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia.[3]
1.        Unsur Sejarah
Bangsa indonesia mengalami kehidupan dalam beberapa situasi dan kondisi sosial yang berbeda sesuai perubahan zaman. Bangsa indonesia secara ekonomis dan politik pernah mencapai era kejayaan di wilayah asia tenggara. Kejayaan dalam bidang ekonomi bangsa indonesia pada era pemerintahan kerajaan majapahit dan sriwijaya, rakyat mengalami kehidupan ekonomi yang sejahtera, sedangkan dalam bidang politik memiliki kekuasaan negara hingga seluruh wilayah nusantara yang meliputi wilayah jajahan belanda (sekarang wilayah NKRI) hingga wilayah negara Filipina, Singapura, Malaysia, bahkan sebagian wilayah Thailand. Namun, kejayaan ini mengalami keruntuhan akibat menghilangnya jiwa kebersamaan (persatuan dan kesatuan) diantara bangsa dalam pemerintahan Majapahit dan Sriwijaya tersebut.
Keruntuhan pemerintahan Majapahit dan Sriwijaya ini berimplikasi pada terciptanya pemerintahan kerajaan dimasing-masing daerah diseluruh wilayah Indonesia. Sistem pemerintahan kerajaan ini menyebabkan bangsa Indonesia menjadi makin lemah untuk menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan dari negara lain yang ingin mencari sumber energi baru bagi negaranya. Ketidakmampuan bangsa Indonesia ini pada akhirnya menyebabkan bangsa Indonesia jatuh ditangan negara-negara kolonial (penjajah). Sebagaimana diketahui negara yang menjajah bangsa Indonesia adalah Belanda, Portugis, dan Jepang. Ketiganya masing-masing selama 350 tahun, 400 tahun, dan 3,5 tahun.
Dampak langsung dari adanya penjajah ini adalah bangsa Indonesia mengalami kebodohan, kemiskinan, kelatarbelakangan, perpecahan dan hilangnya sumber daya alam akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab oleh penjajah untuk dibawa ke negaranya.
Realitas perjalanan sejarah bangsa tersebut mendorong bangsa Indonesia untuk menjadi pejuang yang pantang menyerah dalam melawan penjajah untuk meraih dan mempertahankan kembali harga diri, martabatnya sebagai bangsa, dipertahankannya semua potensi sumber daya alam yang ada agar tidak terus-menerus dieksplorasi dan dieksploitasi yang akhirnya dapat menghancurkan kehidupan bangsa Indonesia dimasa datang. Perjuangan bangsa Indonesia ini tidak berhenti pada masalah yang telah disebutkan sebelumnya, melainkan berlanjut pada perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dari penjajah.
Perjuangan demi perjuangan bangsa Indonesia diatas pada akhirnya menjadi suatu nilai yang mengkristal dalam jiwa bangsa Indonesia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pejuang. Sekaligus semangat juang yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tersebut menjadi kebanggan sebagai identitas nasional bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pejuang.
2.        Kebudayaan
Aspek kebudayaan yang menjadi pembentuk identitas nasional adalah meliputi tiga unsur yaitu: akal budi, peradaban (civility), dan pengetahuan (knowledge).
a.         Akal budi adalah sikap dan perilaku yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam interaksinya antara sesama (horizontal) maupun antara pimpinan dengan staf, anak dengan orang tua (vertikal). Bentuk sikap dan perilakunya, adalah hormat-menghormati antarsesama, sopan santun dalam sikap dan tutur kata, dan hormat pada orang tua.
b.        Peradaban (civility) yang menjadi identitas nasional bangsa Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek berikut meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan hankam. Identitas nasional dalam masing-masing aspek yang dimaksud adalah: (1) Ideologi adalah sila-sila dalam Pancasila, (2) Politik adalah demokrasi langsung dalam pemilu langsung presiden dan wakil presiden serta kpeala daerah tingkat I dan tingkat II kabupaten/kota, (3) Ekonomi adalah usaha kecil dan koperasi, (4) Sosial adalah semangat gotong-royong, sikap ramah-tamah, murah senyum dan setia kawan, dan (5) Hankam adalah sistem keamanan lingkungan (siskamling), sistem perang gerilya, dan teknologi kentongan dalam memberikan informasi bahaya, dsb.
c.         Pengetahuan (knowledge) yang menjadi unsur pembentuk identitas nasional meliputi: (1) Prestasi anak bangsa dalam bidang olahraga bulu tangkis dunia, (2) Karya anak bangsa dalam bidang teknologi pesawat terbang, yaitu pembuatan pesawat terbang CN-235, di IPTN Bandung, Jawa Barat, (3) Karya dalam bidang teknologi kapal laut, yaitu pembuatan kapal laut Phinisi, dan (4) Prestasi anak bangsa dalam menjuarai lomba olimpiade fisika dan kimia, dsb.
3.        Budaya Unggulan
Budaya unggulan adalah semangat dan kultur bangsa Indonesia untuk mencapai emajuan dengan cara ”kita harus bisa, kita harus berbuat yang terbaik, kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa”. Dalam UUD 1945, menyatakan bahwa bangsa Indonesia berjuang dan mengembangkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, bersatu, maju, makmur, serta adil atau berkesejahteraan. Untuk mencapai kualitas hidup demikian, nilai kemanusiaan, demokrasi dan keadilan dijadikan landasan ideologis yang secara ideal dan normatif diwujudkan secara konsisten, konsekuen, dinamis, kreatif, dan bukan indoktriner.
4.        Suku Bangsa
Identitas nasional dalam aspek suku bangsa adalah adanya suku bangsa yang majemuk (aneka ragam). Majemuk atau aneka ragamnya suku bangsa dimaksud adalah terlihat dari jumlah suku bangsa lebih kurang 300 suku bangsa dengan bahasa dan dialek yang berbeda. Populasinya menurut data BPS tahun 2003 adalah berjumlah 210 juta jiwa. Dari jumlah tersebut diperkirakan separuhnya atau 50% adalah suku bangsa etnis Jawa. Sisanya adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia diluar Jawa, seperti, suku Makasar-Bugis (3,68%), Batak (2,04%), Bali (1,88%), Aceh (1,4%), dan suku-suku lainnya. Sedangkan suku bangsa atau etnis Tionghoa hanya berjumlah 2,8% tetapi menyebar keseluruh wilayah Indonesia dan mayotiras mereka bermukim diperkotaan.


5.        Agama
Identitas nasional dalam aspek agama adalah masyarakat agamis dan memiliki hubungan antar umat seagama dan antar umat beragama yang rukun. Disamping itu, menurut UU no. 16/1969, negara Indonesia mengakui multi agama yang dianut oleh bangsanya yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu.
6.        Bahasa
Bahasa adalah salah satu atribut bangsa disamping identitas nasional. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubung (lingua franca) berbagai etnis yang mendiami kepulauan nusantara. Bahasa melayu ini pada tahun 1928 ditetapkan oleh pemuda dari berbagai suku bangsa Indonesia dalam peristiwa Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia.
D.      Bangsa dan Negara Indonesia
1.        Hakikat Negara Indonesia
Menurut Ir. Soekarno, yang dimaksud bangsa Indonesia adalah seluruh manusia yang menurut wilayahnya telah ditentukan untuk tunggal secara bersamaan di wilayah nusantara dari ujung barat (Sabang) sampai ujung timur (Merauke) yang memiliki “Le desir d’etre ensemble” (pendapat Ernest Renan) “Charaktegemeinschaft” (pendapat Otto Van Bauer) yang telah menjadi satu. Kemunculan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh paham nasionalisme.[4]
Faktor-faktor penting bagi pembentukkan bangsa Indonesia, sebagai berikut:
a.         Adanya persamaan nasib, yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing.
b.        Adanya keinginan bersama untuk merdeka, melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
c.         Adanya kesatuan tempat tinggal, yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
d.        Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suku bangsa.
Hakikat Negara Kebangsaan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama dibawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya.
2.        Proses Terjadinya Negara Indonesia
Terjadinya negara Indonesia merupakan proses atau rangkaian tahap yang berkesinambungan, rangkaian tahap perkembangan tersebut digambarkan sesuai dengan keempat alinea dalam pembukaan UUD 1945, secara teoritis perkembangan negara Indonesia terjadi sebagai berikut.
a.         Adanya perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Perjuangan panjang bangsa Indonesia menghasilkan Proklamasi. Proklamasi barulah menghantarkan ke pintu gerbang kemerdekaan. Negara yang dicita-citakan adalah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (Alinea ke II pembukaan UUD 1945).
b.        Terjadinya negara Indonesia adalah kehendak bersama seluruh bangsa Indonesia, sebagai suatu keinginan luhur bersama. Disamping itu, adalah kehendak dan rahmat Allah yang Maha Kuasa (Alinea ke III pembukaan UUD 1945).
c.         Negara Indonesia perlu menyusun alat-alat kelengkapan negara yang meliputi tujuan negara, bentuk negara, sistem pemerintahan negara, UUD negara, dan dasar negara (Alinea ke IV pembukaan UUD 1945).
Berdasarkan kenyataan yang ada, terjadiya negara Indonesia bukan melalui pendudukan, pemisahan, penggabungan, pemecahan atau penyerahan. Bukti menunjukkan bahwa negara Indonesia terbentuk melalui proses perjuangan (revolusi), yaitu perjuangan melawan penjajahan sehingga berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
3.        Cita-cita, Tujuan, dan Visi Negara Indonesia
Bangsa Indonesia bercita mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan rumusan yang singkat, negara Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 (Alinea ke II pembukaan UUD 1945).
Tujuan negara Indonesia selanjutnya dijabarkan pada Alinea ke IV Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut:
a.         Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
b.        Memajukan kesejahteraan umum.
c.         Mencerdaskan kehidupan bangsa.
d.        Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Adapun visi bangsa Indonesia adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya asing, maju, dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang berdisiplin tinggi (Tap MPR No. VII/MPR/2001).

DAFTAR PUSTAKA
Srijanti, A. Rahman H.I, Purwanto S.K. (2009). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Graha Ilmu
Andi Candra Jaya, M.Hum. Pendidikan Kewarganegaraan. Palembang


[1] Srijanti, A. Rahman H.I, Purwanto S.K. (2009). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm. 36
[2] Ibid, Hlm. 37
[3] Ibid, Hlm. 38
[4] Soewarso. (1984). Monografi. Tinjauan Prakmatik Masalah Hankam Menurut Ketahanan Nasional. Sekolah Staf dan Komando TNI AL. dalam Andi Candra Jaya, M.Hum. Pendidikan Kewarganegaraan. Palembang. Hlm. 15

ALIRAN DAN PEMBAGIAN HUKUM




I.                   ALIRAN-ALIRAN HUKUM
Dalam praktik peradilan terdapat beberapa aliran hukum yang mempunyai pengaruh luas bagi pengelolaan hukum dan proses peradilan. Aliran hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Aliran legisme
            Cara pandang aliran legisme adalah bahwa semua hukum terdapat dalam undang-undang. Maksudnya diluar undang-undang tidak ada hukum. Dengan demikian, hakim dalam melaksanakan tugasnya hanya melakukan pelaksanaan undang-undang belaka (wetstiopasing), dengan cara yuridische sylogisme, yakni suatu deduksi logis dari perumusan yang umum (preposisi mayor) kepada suatu keadaan yang khusus (preposisi minor), sehingga sampai kepada suatu kesimpulan (konklusi). Aliran ini berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan dapat diselesaikan dengan undang-undang. Oleh karena itu, mengenai hukum yang primer adalah pengetahuan tentang undang-undang, sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah sekunder.

2. Aliran freie rechtslehre atau freie rechtsbewegung atau freie rechtschule
Pandangan Aliran freie rechtslehre/rechtsbewegung/rechtsschule berbeda cara pandang dengan aliran legisme. Aliran ini beranggapan, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya, seorang hakim bebas untuk melakukan sesuatu menurut undang-undang atau tidak. Hal ini dikarenakan pekerjaan hakim adalah menciptakan hukum. Aliran ini beranggapan bahwa hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law), karena keputusan yang berdasarkan keyakinannya merupakan hukum. Oleh karena itu, memahami yurisprudensi merupakan hal primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder.
Tujuan daripada freie rechtslehre menurut R. Soeroso adalah sebagai berikut:

a.    Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara member kebebasan kepada hakim tanpa terikat pada undang-undang, tetapi menghayati tata kehidupan sehari-hari.
b.    Membuktikan bahwa dalam undang-undang terdapat kekurangan-kekurangan dan kekurangan itu perlu dilengkapi.
c.     Mengharapkan agar hakim memutuskan perkara didasarkan kepada rechts ide (cita keadilan)

3. Aliran rechtsvinding (penemuan hukum)
Aliran ini berpendapat bahwa hakim terikat pada undang-undang, tetapi tidak seketat sebagaimana pendapat aliran legisme, sebab hakim juga mempunyai kebebasan. aliran rechtsvinding adalah suatu aliran yang berada di antara aliran legisme dan aliran freie rechtslehre/rechtsbewegung/rechtsschule. Dalam hal ini, kebebasan hakim tidaklah seperti pendapat freie rechtsbewegung, sehingga hakim di dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kebebasan yang terikat. (gebonden vrijheid), atau keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid). Jadi tugas hakim merupakan melakukan rechtsvinding, yakni menyelaraskan undang-undang yang mempunyai arti luas. Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas terbukti dari adanya beberapa kewenangan hakim, seperti penafsiran undang-undang, menentukan komposisi yang terdiri dari analogi dan membuat pengkhususan dari suatu asas undang-undang yang mempunyai arti luas.
Menurut aliran rechtsvinding bahwa yurisprudensi sangat penting untuk dipelajari di samping undang-undang, karena di dalam yurisprudensi terdapat makna hukum yang konkret diperlukan dalam hidup bermasyarakat yang tidak ditemui dalam kaedah yang terdapat dalam undang-undang. Dengan demikian memahami hukum dalam perundang-undangan saja, tanpa mempelajari yurisprudensi tidaklah lengkap, Namun demikian, hakim tidaklah mutlak terikat dengan yurisprudensi seperti di negara Anglo Saxon, yakni bahwa hakim secara mutlak mengikuti yurisprudensi.

4. Aliran sicoilogishe rechtschuke
Pada dasarnya tidak setuju dengan adanya kebebasan bagi para pejabat hukum untuk menyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaanya. Oleh karena itu, aliran ini hendak menahan dan menolak kemungkinan sewenang-wenang dari hukum, sehubungan dengan adanya freieserhessen dalam aliran rechtsschule. Pada akhirnya aliran ini mengimbau suatu masyarakat bagi pejabat-pejabat hukum dipertinggi berkenaan dengan pengetahuan tentang ekonomi, sosiologi dan lain-lain, supaya kebebasan dari hakim ditetapkan batas-batasnya dan supaya putusan-putusan hakim dapat diuji oleh public opinion.

5. Aliran sistem hukum terbuka (open system)
Berpendapat bahwa hukum itu merupakan suatu sistem, bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan yang satu ditetapkan oleh yang lain; bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicari aturan-aturan umumnya, sehingga sampailah pada asas-asas. Sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang diatur dalam keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.  Sebelum dikenal hukum tertulis, maka satu-satunya sumber hukum adalah hukum kebiasaan. Oleh karena hukum kebiasaan itu sifatnya tidak tertullis, maka dapat dibayangkan bahwa tidak ada kepastian atau keseragaman hukum. Kemudian lahirlah aliran-aliran penemuan hukum, yang pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mengenai apa yang merupakan sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupaka aliran-aliran tentang ajaran sumber hukum.

II.                ALIRAN YANG BERLAKU DI INDONESIA
Aliran yang berlaku di Indonesia adalah aliran rechtsvinding, bahwa hakim dalam memutuskan suatu perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara kebebasan yang terikat (gebonden vrijheid) dan keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid). Tindakan hakim tersebut berdasarkan pada pasal 20,22 AB dan Pasal 16 ayat (1) dan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Pasal 20 AB mengatakan bahwa:
Hakim harus mengadili berdasakan undang-undang
Pasal 22 AB mengatakan bahwa:
Hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili.
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi:
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
                                           
III.             PEMBAGIAN HUKUM
1.      Pembagian Hukum Menurut Tempat Berlakunya
a. Hukum nasional, yaitu hukum yang berlakubagi seluruh warga negara di dalam suatu negara.
b. Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional.
c. Hukum Asing, yaitu hukum yang berlaku di negara lain yang harus ditaati apabila warga negara masuk ke wilayah negara negara lain.
d. Hukum Agama, yaitu kumpulan norma-norma yang ditetapkan bersama oleh masing-masing agama untuk para anggota pengikutnya.

2. Pembagian Hukum Menurut Isinya
a. Hukum Privat(Hukum Sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih dengan menitikberatkan masalah kepada kepentingan perorangan.
b. Hukum Publik(Hukum negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat-alat perlengkapan kenegaraan atau hubungan antara negara dengan perorangan(warga negara)

3. Pembagian Hukum Menurut Waktu Berlakunya
a. Ius Contitutum (Hukum Positif), yaitu hukum yang berlaku bagi seluruh warga negara dalam suatu waktu tertentu dan di dalam suatu tempat tertentu.
b. Ius Constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku di masa yang akan datang.
c. Hukum Asasi(Hukum), yaitu hukum yang berlaku di dalam segala waktu dan tempat di dalam belahan dunia. Hukum tersebut berlaku untuk masa yang tidak dapat ditentukan dan tidak mengenal batas waktu terhadap siapapun juga di seluruh dunia.
SUMBER:
1.      books.google.co.id/books?isbn=9794072311 /  C.S.T. Kansil
2.      books.google.co.id/books?id=klEdAQAAMAAJ / G. J. Wolhoff
3.      books.google.co.id/books?isbn=9795612840 /  Abdul Gani Abdullah
4.      books.google.co.id/books?id=eMtrAAAAIAAJ / Sudiman Kartohadiprodjo