Rabu, 28 Maret 2012
Cerpen asal
Heru termenung di sudut ruang tunggu Bandara pesawat...perhatiannya melihat berbagai wajah-wajah penumpang menanti pesawat yang delay. ada canda, ada kesal, ada cuek, ada kekosongan, ada ketakutan ditengah penantian pesawat siang ini. Heru merasa perjalanannya kali ini sesuatu yang lain. ada rasa kekosongan dan ingin cepat menyelesaikan tugas di ibukota dan segera pulang kembali ke kotanya. Risa yang kini mengisi hari-harinya telah membuka tabir perubahan yang begitu mengurai hatinya yang begitu lama beku dan kamuplase. Walau cuma sesaat ia menelpon saat penantian di bandara, namun memberikan motivasi yang membuatnya menjadi makin cepat menyelesaikan tugas. "bang, aku akan mencintaimu dengan tulus, neng akan menjadi kaki, tangan dan matamu ditengah perjuangan ini, percayalah bang. neng kini makin kokoh untuk maju kedepan meniti masa depan dengan optimis...bimbing neng terus bang, arahkan neng jika alpa, ingatkan neng jika lupa ibadah, ingatkan neng jika neng kasar dan tidak romantis..." ingatan Heru kata-kata Risa-nya semakin menyadarkan betapa proses yang biasa, berkembang dalam perjalanan di mobil, dan pertemuan-pertemuan sesaat menjadikan nilai betapa cinta dan perasaan bisa berkembang dan berjalan dalam kasih sayang bukan dalam nafsu sesaat.
10 tahun Heru meredam dan menutupi kisah hidupnya dalam-dalam demi untuk kebahagian ibu dan kepanutan adik-adiknya ia buka sudah, "entah mengapa, begitu mudahnya, begitu lancarnya aku bercerita tanpa bumbu, tanpa rayuan, hanya kisah hidup yang terbingkai keberhasilan dapat tercerita dengannya.."desah Heru sambil makan snack yang dipersiapkan maskapai penerbangan. ada rasa kangen yang tidak bisa diucapkan dalam bahasa-bahasa biasa, sebab kata itu sudah terlalu lama terpendam dalam kisah-kisah penuh problem demi sebuah "kemenangan hidup". Heru menatap masa-masa dulu yang cuek, penuh curiga dan penuh kebimbangan. hidupnya dulu cuma sebuah realitas kebohongan yang dibalut dengan senyum dan bahagia. "aku tidak boleh menyesal, itu pilihan, membahagia orang lain merupakan takdir yang harus dijalaninya. Risa kini pelan pelan merubah prinsip hidupnya, Risa memberi ketulusan cinta dan sayangnnya tanpa menuntut, tanpa berharap kecuali Heru bisa bahagia. "Bang, Risa tidak menuntut apapun, Risa tidak mau berandai-andai yang bakal menyakitkan, Risa hanya ingin, abang bisa bahagia bersama Risa, abang bisa menjadi imam Risa selama meniti karir ini...sebab jodoh tidak bisa diprediksi, sebab jodoh bukan bahasa manusia " demikian Risa menjelaskan dengan gayanya, "ahhh....ada ketentraman dalam diri Heru, Risa yang mungil, manja, ternyata memiliki ungkapan ungkapan arif. mungkin ksah masa lalunya sebelum dengan Heru membuat dia lebih dewasa. "Risa, abang cuma ingin mengekpriskan bahasa lewat bait lagu Iwan Fals berjudul "rinduku", sambil menyetir mobil Heru mulai melantunkan bait lagu itu:
Tolong rasakan ungkapan hati
rasa saling memberi
agar semakin erat hati kita
jalani kisah yang ada
* ku tak pernah merasa jemu
jika kau selalu disampingku
begitu nyanyian rinduku
terserah apakah katamu
rambutmu matamu bibirmu kurindu
senyummu candamu tawamu kurindu
beri aku waktu sedetik lagi
menatap wajahmu
esok hari ini atau nanti
mungkin tak kembali
makasih abang.......Risa memeluk erat Heru, kekasihnya. ada rona bahagia yang Heru juga rasakan. ada ikrar tersirat lewat kedua mata dua kekasih ini. ada ungkapan perjuangan yang akan dilewati dalam rintangan hidup. ada satu perasaan, pertemuan demi pertemuan adalah rutinitas rindu, perpisahan dan kesendirian adalah sebuah masa untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman yang akan didiskusikan berdua.
Heru bahagia melihat keluwesan kekasihnya, pertemenannya, kesupelannya yang dibalut dengan kecantikan, raut senyum dan gembira selalu terlihat heru walau sepintas. Risa juga bangga dengan kekasihnya, kesibukan kekasihnya yang begitu menyita waktu tapi tidak melupakan untuk ingat Ia, walau cuma sekedar kata lewat SMS...."selamat tidur; selamat malam; selamat belajar; hati hati di jalan. baginya, ungkapan itu lebih dari pertemuan gaya pacaran anak muda sekarang yang cuma berpikir "yang penting hari ini, besok masa bodoh"...ahhh, kini 4 hari ia telah meninggalkan kekasihnya, dibandara yang hanya menanti 2 jam terasa 2 tahun, Heru ingin cepat pulang, ingin cepat bertemu kekasihnya yang selalu berdoa keselamatan perjalanan dalam kesendiriannya di atas sajadah.
Dalam penantiannya diatas selembar tisu, Heru menulis puisi diam untuk sang kekasih:
AKu cuma ranting
menjaga dirimu untuk bisa bergantung
yang mengusir terik matahari walau cuma segaris di keningmu
Aku cuma ranting
yang meneduhkanmu walau cuma sehelai rambut
yang cuma sesaat mampu menahan api yang akan melahapmu
Aku cuma ranting untukmu
yang berupaya besar untuk menjadi pohon
walau itu mungkin mustahil
Lamat-lamat panggilan pesawat untuk dirinya terdengar, ia bergegas bangkit menuju hanggar pesawat melupakan puisinya yang mungkin sekarang sudah dibuang oleh tukang sampah Bandara...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar